Skip to main content

Mimpi ala Amerika, the American Dream

 

Photo by Zachary Keimig on UnsplashAdd caption

Memiliki rumah dan mobil seperti di ilustrasi di atas ini sepertinya masih valid untuk menggambarkan mimpi ala Amerika, alias American Dream. Pastinya tidak berlaku ke semua orang, tapi pada kebanyakan orang, seperti aparatur sipil dan pekerja kantoran. Setidaknya masih valid di gen-x atau bahkan milenial? Lalu kenapa, apakah ini salah?

Mimpi ala Amerika, tapi berlaku dimana-mana. Cirinya dari siklus hidup seseorang, mulai dari lahir masuk bangku sekolah sesuai kurikulum ada ijazahnya yang diperlukan untuk masuk ke perusahaan, baik kantor maupun pabrik. Kemudian ada jenjang karir, promosi, jadi manajer, jadi VP, jadi bos mungkin, dan yang pasti kemudian pensiun. Seiring dengan itu ada cicilan.

Produk dari kapitalisme dan komunisme, keduanya membentangkan kasta pekerja, baik white collar maupun blue collar, intinya gaji, upah, apapun itu sudah dipatok. Hollywood sudah sering memberi sinyal kepada para penontonnya, ibarat film The Matrix, tokoh the one a.k.a Neo terus berusaha membebaskan para baterai biologis dari peternakan. Bisa jadi para pekerja baik di dunia kapitalis maupun komunis sedang diperalat seperti baterai biologis tersebut. Lucunya tidak sedikit baterai biologis yang menyangkal hal ini, bahkan setelah dibebaskan dia justru merengek untuk dapat kembali ke dunia baterai tersebut.

Kemudian saya teringat sebuah video di Youtube mengenai The Collapse of American Dream, berikut ini ada yang mengupload ulang dengan teks Bahasa Indonesia supaya lebih mudah memahaminya:

 

Kejadian-kejadian di sekerang ini seperti di 1998 (Krisis Asia hadiah dari barat), 2008 (Krisis ala subprime mortgage), 2013 (Perlambatan ekonomi dunia dampak dari shale oil), 2015(Efek perlambatan yang berlarut di Indonesia), dan 2020 (Krisis global Covid-19 dari Wuhan) pada dasarnya seperti memercikan air ke muka para pekerja, atau bahkan mengguyur seember air, agar lepas dari baterai. Faktanya rakyat Indonesia mampu bangkit dari 1998 dengan munculnya usaha-usaha yang diistilahkan UMKM, yang tentunya kaum kapitalis dan komunis tidak membiarkan hal ini begitu saja, dan betul tidak lama mereka dijerat lagi dengan berbagai produk seperti cicilan-cicilan tanpa jaminan yang berujung bertemu tukang tagih dan asuransi jiwa, kemudian investasi bodong, dan yang paling parah adalah investor kapitalis itu sendiri. Konglomerat, baik sendiri ataupun dengan partnernya mencaplok usaha-usaha kecil, yang belum tentu setelah itu dimajukan, hanya berkedok demi valuasi tapi sebenarnya sekedar disruptif. Tujuannya supaya kembali menerima kodrat sebagai baterai biologis ala The Matrix.

Maka bagi yang sudah terlepas dari dunia Matrix, bersyukurlah.

Bagi yang dari awal memang tidak hidup di lingkungan baterai The Matrix, bersyukurlah.

Bersyukur dan bersabar, bagi semua.

Mengapa mengunci impian hanya ke arah American Dream? Kalau memang itu benar-benar adalah mimpimu, silahkan jalani, tapi jangan patahkan dari awal, bahwa we can dream big. And bigger than that, the akhirat. Kenapa mengejar dunia melulu? Padahal setelah mati sudah tidak penting itu gelar, jabatan, kekayaan, properti, rekor dan ukiran sejarah, yang dahulu dibangga-banggakan, apa pentingnya kalau sudah mati?

Tapi lagi-lagi ini soal iman. Sudah sedemikian disruptifnya kah sehingga kita meragukan akhirat? hari pembalasan? atau bahkan adanya Tuhan?

Popular posts from this blog

Agile, Buru-buru, Labil?

Bismillah... Semoga Allah segera meluruskan bila ada yang salah dalam pemikiran saya ini yang hendak saya tuliskan ini. Image by Free-Photos from Pixabay Cerita kali ini tentang salah satu personality traits yang cukup populer di era teknologi saat ini, era digital, era milenial. Tidak lain ialah soal kelincahan, atau agility, yang bagi kalangan gamers

Hijrah Kontemporer, perlukah?

Image by Johannes Plenio from Pixabay Setelah sekian lama masuk ke dunia kerja, rasanya kehidupan tidak semulus kebanyakan dongeng semasa kecil, tidak selurus ajaran di bangku sekolah.    Ya, hidup itu keras, menghalalkan segala cara bisa jadi ada tergantung budaya kantornya, yang sudah mengakar. Maka bagaimanakah nasib muslim kantoran yang sudah terlanjur masuk ke industri yang tidak lurus? 

Mengejar Akhlaq, Umat yang sedikit

Image by John Hain from Pixabay Salam, Ini cerita flashback saya ketika di bangku SD. Kebetulan saya dimasukkan ke sekolah negeri, yang satu kelas isinya banyak sekali murid, sekalipun sudah dibagi kelas pagi dan siang. Pelajaran agama yang diajarkan di sekolah itu ialah agama Islam. Meskipun saya tidak terlalu pandai menghafal, tetapi saya cukup cerdik mempelajari situasi supaya mendapat nilai bagus di mata pelajaran agama tersebut, tentunya bukan dengan mencontek ataupun cara yang tidak mulia lainnya. Sebaliknya, ternyata trik yang saya lakukan itu merupakan pelajaran yang berharga seterusnya bagi kehidupan saya. Akhlaq.