Skip to main content

Hijrah Kontemporer, perlukah?

Image by Johannes Plenio from Pixabay

Setelah sekian lama masuk ke dunia kerja, rasanya kehidupan tidak semulus kebanyakan dongeng semasa kecil, tidak selurus ajaran di bangku sekolah. 
 
Ya, hidup itu keras, menghalalkan segala cara bisa jadi ada tergantung budaya kantornya, yang sudah mengakar. Maka bagaimanakah nasib muslim kantoran yang sudah terlanjur masuk ke industri yang tidak lurus? 


Inilah cerita saya beberapa tahun lalu sewaktu akhirnya hijrah ke kantor yang syariah. Alhamdulillah, di kantor baru tersebut saya jadi mudah mengakses masjid, mengikuti kajian, dan dalam lingkungan yang mendukung untuk terhindar dari kegiatan yang jauh dari ridho Allah. Ya, mungkin itu kuncinya, dalam Islam memang kekuatan lingkungan sangatlah berpengaruh. Sulit saya percayai kalau kita yang sering berjamaah dan saling mengingatkan, kemudian terbawa arus metropolitan seperti kehidupan malam, dugem, minum-minum, hengki pengki, suap, korup, dan lainnya. Disclaimer, hal ini bukan berarti kantor saya sebelumnya demikian, ini hanya ilustrasi kehidupan kantor secara umum yang konvensional yang kurang berkenan atau bahkan jauh dari koridor syariah. 
 
Tapi sebenarnya, apa perlu sampai hijrah pindah kantor? Kembali ke masing-masing, sesuai kemampuan. Kalau punya ilmu dan mampu mengajarkan yang baik kepada yang masih suka bermaksiat, atau memiliki posisi yang menentukan arah perusahaan, maka mungkin hijrahnya di budaya kantor. Kalau masih ecek-ecek seperti saya ini, baiknya berusaha cari kesempatan di tempat kerja yang baik, dekat pada Allah.
 
Hijrah..
 
Menggunakan istilah hijrah ini karena memang sedang trend di media beberapa tahun belakangan ini seperti orang berbondong-bondong menggunakan istilah hijrah. Sebelumnya yang saya mengerti tentang hijrah itu adalah peristiwa ketika Nabi Muhammad S.A.W. beserta para sahabat pindah dari Mekah ke Madinah, salah satunya disebabkan tekanan kaum kafir yang kian mengancam keselamatan umat Islam di Mekah.

Bagi saya melihat peristiwa hijrah ialah ibarat seseorang yang secara kekuatan dan perhitungan apabila diteruskan berpotensi menimbulkan kehancuran yang sia-sia, lebih baik mundur, atau istilahnya pendekar ialah naik gunung, kemudian menghimpun kekuatan, yang pada tiba saatnya kembali menyelesaikan urusan yang tertunda tersebut. Ada pepatah mengatakan "We may lose the battle, but we are not losing the war!". Pertanyaannya, "what kind of war?", maka saya jawab, "perang melawan bala tentara syaitan dan hawa nafsu", sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. [Fâthir/35:6]
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ

“Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya” (Hadits shahih diriwayatkan oleh ibnu Najjar dari Abu Dzarr).

Hijrah dalam makna trend saat ini lebih menggambarkan seorang muslim yang lebih berkomitmen menjalankan syariat Islam. Contohnya ketika seorang artis muslimah yang mulai mengenakan hijab, kemudian juga artis muslim yang mulai tampil berbusana yang lebih bernuansa Islami (Gamis, red.), yang mulai rajin mengikuti ta'lim, baik di lingkungan maupun secara online. Online?

Berguru lintas batas..

Di zaman serba internet, industri 4.0, Internet of Things a.k.a. IoT, apapun istilah yang berkembang, tentunya juga berarti bahwa akses internet semakin mudah ditemukan dimana-mana. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa informasi dapat diperoleh dengan mudahnya melalui gadget apapun, oleh siapapun, mengenai apapun. Sebutlah istilah baru yang kita belum paham, bahkan asing, maka cari saja di Google, salah ketik pun minimal ada yang terkait. Tapi yang perlu diingat, informasi yang banyak, tidak semuanya berguna untuk diri kita. Adalah tanggung jawab masing-masing untuk memilah-milah mana yang perlu, dan terlebih memfilter apakah informasi tersebut datang dari sumber yang bisa dipercaya ataukah informasi palsu dengan maksud tertentu.

Di usia sekarang ini, sudah lama terlepas dari masa-masa sekolah formal, saya hari-hari fokus menafkahi keluarga. Apakah saya masih perlu belajar? Mengenai jalur kehidupan yang telah saya pilih, bisa jadi sekolah dasar ataupun sekolah menengah masih dalam arahan orang tua. Akan tetapi pilihan untuk masuk sekolah tinggi mana, jurusan apa, kemudian lulus menjadi apa, bekerja dimana sepenuhnya tanggung jawab saya sendiri, kita sendiri. Kemudian pernahkah saya sesali? kita sesalkan? Tidak usah. Kenapa mesti lantas menyesal seorang lulusan kedokteran ketika pada kenyataannya ia justru menjadi pebisnis yang jauh dari profesi dunia medis? Adakah penyesalan dari seorang sarjana hukum ketika ia tidak menjadi pengacara, tetapi menyeberang menjadi penasehat keuangan? Menyesal jangan. Saya pun selalu menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang kebetulan, melainkan pastinya atas izin Allah swt. Apalagi sekarang ini apa yang saya alami adalah kegembiraan di tengah terbukanya akses informasi, ilmu pengetahuan dari seluruh penjuru dunia. Seolah terbayarkan apa-apa yang dahulu saya juga ingin pelajari.

Sekarang ini saya lagi senang-senangnya belajar mengenai hampir apapun. Contoh kasus, misalnya suatu ketika ada penyakit apa atau sakit dimana, ingin mengetahui lebih dalam mengenai penyakitnya, apa sebabnya, bagaimana mengatasinya atau mencegahnya, bisa langsung browsing internet saja. Maka lama-lama menjadi terbiasa dengan istilah-istilah dalam dunia kedokteran.

Begitu pula ketika mendalami Islam, barangkali dulunya tidak sempat mondok di pesantren, bukan dari kalangan priyayi, ataupun tidak rajin mengaji, intinya ketika dewasa tersadar bahwa ternyata pengetahuan mengenai Islam masih basic sekali. Bukan sebuah kebetulan, saya menyaksikan rekaman pengajian via Youtube dari ustad Adi Hidayat, kemudian ust. Abdul Somad, Syekh Ali Jaber, ust KhB, dan masih banyak lagi, yang awalnya saya langsung terpukul sekali melihat ilmu saya amatlah kecil tidak ada apa-apanya. Belajar dari dasar lagi, mengenai iman, aqidah, agar tak goyah. Kemudian memperbaiki syariah agar sesuai dengan apa yang telah diajarkan nabi, karena bisa jadi itu sebabnya ibadah kita selama ini jadi angin-angin saja karena kita kurang pahami syariatnya. Dan tak lupa yang terpenting dari sosok nabi besar Muhammad s.a.w. ialah akhlaq. Belum sempurna iman, ilmu dan syariat yang ditegakkan tanpa menjaga akhlaq yang baik, kepada Allah dan kepada sesama.

Ya, boleh saja disebut karbitan ketika belajarnya tidak secara formal melalui ponpes ataupun institusi pendidikan Islam. Dalam hal ini saya lebih baik ikhlaskan saja, karena saya tidak bisa mengubah masa lalu supaya menjadi lulusan pesantren. Justru yang perlu saya beri motivasi kepada diri saya sendiri adalah mengamalkan ilmu tersebut. Insya Allah ke depan saya akan terus berbagi ilmu, semoga bermanfaat bagi semua. Belajar, amalkan, belajar lagi, amalkan lagi, begitulah siklusnya, tanpa batas. Segala sesuatu tergantung niatnya, maka niatkan yang baik dari awal, supaya tidak rugi. Paling utama, selalu niatkan.. Lillahita'ala..



عْنْ اَنَسٍ اِبْنُ مَالِكٍ قَلَ قَالَ رَسُوْل الله صلى الله عليه وسلـم  طَلَبُ الْعِلْم فَرْيْضَةً عَلى كُلّ مُسْلِمٍ ووضِعً العِلْمِ عِنْدَ غَيْرُأهْلِهِ كَمُقِلِّدِ الْخَنَا زِيْرِ لْجَوْهَرَولَلؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ
Artinya  :
"Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah saw, bersabda: Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim, memberikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya seperti orang yang mengalungi babi dengan permata, mutiara, atau emas" HR.Ibnu Majah

Popular posts from this blog

Agile, Buru-buru, Labil?

Bismillah... Semoga Allah segera meluruskan bila ada yang salah dalam pemikiran saya ini yang hendak saya tuliskan ini. Image by Free-Photos from Pixabay Cerita kali ini tentang salah satu personality traits yang cukup populer di era teknologi saat ini, era digital, era milenial. Tidak lain ialah soal kelincahan, atau agility, yang bagi kalangan gamers

Mengejar Akhlaq, Umat yang sedikit

Image by John Hain from Pixabay Salam, Ini cerita flashback saya ketika di bangku SD. Kebetulan saya dimasukkan ke sekolah negeri, yang satu kelas isinya banyak sekali murid, sekalipun sudah dibagi kelas pagi dan siang. Pelajaran agama yang diajarkan di sekolah itu ialah agama Islam. Meskipun saya tidak terlalu pandai menghafal, tetapi saya cukup cerdik mempelajari situasi supaya mendapat nilai bagus di mata pelajaran agama tersebut, tentunya bukan dengan mencontek ataupun cara yang tidak mulia lainnya. Sebaliknya, ternyata trik yang saya lakukan itu merupakan pelajaran yang berharga seterusnya bagi kehidupan saya. Akhlaq.