Skip to main content

Me versus the World

Image by mbll from Pixabay


Pernahkah ketika pertama kali masuk kantor, atau dipindahkan ke sebuah tim atau area, tantangan yang dihadapi adalah lingkungan yang kurang berkenan, atau bahkan kacau. Maksudnya, di dalam lingkungan tersebut sepertinya hal-hal yang berbau atau bahkan kegiatan maksiat itu sendiri sudah menjadi sesuatu hak yang biasa. Sebutlah aktivitas seperti hengki pengki, minum-minum, hiburan malam, main cewek, belum lagi yang lebih parah terjebak dalam ekosistem fraud yang terorganisir, pernah? Tapi pada kenyataannya mereka itu banyak (majority), sedangkan kita anak baru, sendirian, bisa apa?

Disitulah tantangannya, tapi kalau memang kuat, dan sebenarnya tidak akan dibebankan ke kita suatu ujian kecuali sebenarnya kita mampu disitu.

Sebuah cerita di sebuah desa antah berantah, suatu ketika ada seorang yang hidup tampak mujur, sukses dalam perniagaannya, berlimpah harta, dan juga tampak sehat selalu. Kemudian tetangga dan para warga lainnya mempelajari bahwa dia sering datang ke sebuah pohon besar tinggi nan rindang tak jauh dari desa tersebut, yang diiringi dengan ritual tertentu dihadapan pohon tersebut. Berawal dari satu dua orang yang mencoba ikut melakukan ritual tersebut, hingga berbondong-bondong masyarakat sekitar pun mulai berdatangan dan memuja sang pohon agung. Ya, ini cikal bakal pohon uang, bukan berarti tumbuh uang, tapi diyakini oleh mereka dapat mendatangkan uang yang banyak.

Seorang warga yang masih sadar bahwa hal ini adalah suatu kemusyrikan, bertekad akan menebang pohon tersebut. Maka ketika malam datang, dia segera membawa kapaknya dan bergegas pergi menuju pohon tersebut. Namun di tengah perjalanan, sekelompok pemuda besar (sebangsa preman) menegurnya, dan mempertanyakan apa yang akan dilakukannya dengan sebuah kapak di tangannya. Dengan jujur dan tegas dia jawab bahwa dia akan menebang pohon agung. Tentu saja mendengar jawaban tersebut para preman tadi langsung mencegat dan mengeroyoknya. Tak disangka, para preman tadi justru kalah telak, terkapar dan tak dapat bangkit lagi, harus rela melepas sang jagoan meneruskan perjalanan ke pohon agung. Setibanya di pohon agung, baru memulai ancang-ancang menebang pohon, muncul sosok paruh baya yang tampak bijaksana, menyapa dengan hangat. Dengan karismanya sang tetua ini berusaha mendamaikan hati si jagoan. Dilontarkan rasional kepadanya, yaitu pertama untuk apa dia mengganggu pohon ini, padahal pohon ini tidak pernah mengganggunya. Mulai goyah, sang tetua keluarkan lagi jurus kedua, dijanjikannya kalau berbaik hati untuk kali ini saja dengan sang pohon, membiarkannya satu malam ini saja, nanti akan turun 3 koin emas di dalam rumahnya. Merasa iba dengan sang tetua, sang jagoan luluh dan kembali ke rumahnya.

Lepas satu malam, benar saja terdengar suara koin jatuh di ruangan rumahnya. Bergegas dia hampiri dan persis 3 koin emas yang nyata, bukan tipuan mata. Lepas dua malam, tiga malam, gembira hatinya mengumpulkan koin-koin emas tersebut. Sampai suatu malam ketika didapatinya tidak ada satu pun emas turun, bergejolaklah hatinya, mengeraskan tekadnya untuk segera menebang pohon agung. Kemudian tiba malam, dia ambil kapak dan melangkah dengan gagah berani menuju pohon agung. Seperti sebelumnya, sekelompok preman mencegat dan menegurnya, untuk apa dia membawa kapak. Lagi-lagi dengan lantang dia jawab bahwa akan ditebangnya sang pohon agung. Mendengar jawaban tersebut dikeroyoklah si jagoan. Dan... jagoannya kalah.. Benarkah? Ya, sang jagoan tak lagi hadir sebagai jagoan, tapi sebagai kalahan. Bagaimana bisa di awal dengan mudah dia beri pelajaran para gerombolan preman, tapi kali ini justru dengan mudahnya kalah?

Ketika pertama kali mengangkat kapak untuk menebang pohon agung, niatnya tidak lain karena aqidah, maka serombongan setan pun tak akan mampu menandinginya. Sedangkan di kali kedua di melangkahkan kaki ke pohon agung, dalam jiwanya bukan lagi soal aqidah, tapi koin emas.

Jadi, mungkin ini yang sering kita semua lupa, hasbunallah!

Popular posts from this blog

Agile, Buru-buru, Labil?

Bismillah... Semoga Allah segera meluruskan bila ada yang salah dalam pemikiran saya ini yang hendak saya tuliskan ini. Image by Free-Photos from Pixabay Cerita kali ini tentang salah satu personality traits yang cukup populer di era teknologi saat ini, era digital, era milenial. Tidak lain ialah soal kelincahan, atau agility, yang bagi kalangan gamers

Hijrah Kontemporer, perlukah?

Image by Johannes Plenio from Pixabay Setelah sekian lama masuk ke dunia kerja, rasanya kehidupan tidak semulus kebanyakan dongeng semasa kecil, tidak selurus ajaran di bangku sekolah.    Ya, hidup itu keras, menghalalkan segala cara bisa jadi ada tergantung budaya kantornya, yang sudah mengakar. Maka bagaimanakah nasib muslim kantoran yang sudah terlanjur masuk ke industri yang tidak lurus? 

Mengejar Akhlaq, Umat yang sedikit

Image by John Hain from Pixabay Salam, Ini cerita flashback saya ketika di bangku SD. Kebetulan saya dimasukkan ke sekolah negeri, yang satu kelas isinya banyak sekali murid, sekalipun sudah dibagi kelas pagi dan siang. Pelajaran agama yang diajarkan di sekolah itu ialah agama Islam. Meskipun saya tidak terlalu pandai menghafal, tetapi saya cukup cerdik mempelajari situasi supaya mendapat nilai bagus di mata pelajaran agama tersebut, tentunya bukan dengan mencontek ataupun cara yang tidak mulia lainnya. Sebaliknya, ternyata trik yang saya lakukan itu merupakan pelajaran yang berharga seterusnya bagi kehidupan saya. Akhlaq.