Skip to main content

Aqidah, Syariah, Akhlaq

Di dunia kerja, seringkali ketika berhadapan dengan hal-hal yang kurang lurus, hingga sering kali dijumpai sang pimpinan biasanya berupaya menenangkan timnya dengan perkataan seperti "tidak apa, yang penting kuat iman". Dengan kata lain, kemaksiatan itu soal terkait syariah, sedangkan iman itu urusan kita kepada Tuhan. Kemudian mengenai menghormati orang lain itu adalah terkait Akhlaq. 

Hmm.. Bagaimana ini? Jangan sampai karena salah satu pilar itu cincay, maka satu bangunan bisa roboh?


Photo by David Jakab from Pexels


Di awal-awal ketika saya mulai kembali mendalami Islam, saya sangat terinspirasi dengan tokoh-tokoh ekonomi syariah, seperti para ustad Adiwarman Karim, Syafii Antonio, Valentino Dinsi, Yusuf Mansur, dan masih banyak lagi yang tak tersebutkan, karena memang barangkali sifat manusia yang dianggap basic ialah faktor ekonomi, yang kemudian seperti hal-nya saya ini, ada saatnya tergugah terkait berkah, dari nikmat dan rezeki yang diperoleh hingga saat ini. Dari ketertarikan tersebut kemudian saya justru terpanggil untuk mendalami Islam dengan sebaik-baiknya, karena ternyata semuanya dalam Islam itu terintegrasi, mulai dari Aqidah, Syari'ah, dan Akhlaq.


Sebelumnya sewaktu kecil, tokoh-tokoh pemuka agama Islam yang saya tahu kurang lebih sama dengan kebanyakan masyarakat Indonesia yang sering menonton televisi, tentulah tidak asing nama da'i kondang pada era saat itu seperti (Alm.) KH Zainuddin MZ, dan Prof Quraish Shihab. Di kala itu, pertanyaan seputar kenapa saya memeluk agama Islam, semudah berkata, seorang Profesor yang begitu cerdas di pikiran saya, beriman kepada Allah. Logikanya, saya harus berupaya melebihi pengetahuan yang dimiliki seorang profesor yang menulis tafsir Al-Misbah ini kalau mau memperdebatkan kebenaran adanya Allah.

Pada masa di bangku kuliah, saya sempat berpikir apa gunanya mempelajari semua materi kuliah yang diberikan ini. Entah supaya saya pintar, atau supaya bisa bersaing di dunia kerja, dan sebagainya, tapi saat itu saya berpikir bahwa gunanya belajar ialah supaya tidak perlu "re-invent something that already been invented". Penemu lampu, penemu listrik, atau lebih dasar lagi penemu gaya gravitasi, tentunya kita pelajari itu supaya tidak usah pusing melakukan penelitian yang sama sekedar membuktikan apa yang mereka temukan ratusan tahun lalu. Ternyata memang ada saja yang melakukan percobaan yang sama dan menemukan kembali, barangkali karena kesenangannya dalam bereksperimen. Padahal dengan belajar dan mengetahui yang sudah ada, maka prinsipnya seperti lari estafet, kemudian dikembangkan menjadi apa. Itulah makanya, tidak perlu berulang, jaman batu, jaman perunggu, jaman kuda gigit besi, jaman revolusi industri, jaman elektronik, jaman internet. Lanjutkan saja.

Uniknya, agama hadir ribuan tahun lalu dan landasannya tetap sama, karena faktanya dalam hidup manusia apa yang dialami sebenarnya itu-itu saja. Di setiap zaman ada saja karakter seperti firaun, qorun, dan haman, misalnya. Maka yang perlu berkembang itu iman kita, apa iya dari dulu baca Qur'an terbata-bata, sampai sekarang masih begitu-begitu saja, kan rasanya ada yang salah dalam hidup ini. Tentunya saya memilih memperdalam iman daripada mulai dari nol, pencarian jati diri, mempertanyakan Tuhan itu apa, kenapa harus ada agama, bagi saya ini kemunduran, meskipun bagi sebagian lain memang perlu menghadapi ujian seperti itu terlebih dahulu, terutama ketika mendapati iman yang dia yakini sekarang memiliki kejanggalan-kejanggalan.

Tak lama setelah saya mulai mendalami kembali Islam, saya menemukan beberapa sharing berharga dari beberapa tokoh yang bagi saya memperkokoh argumen saya tersebut. Diantaranya ada Dr. Zakir Naik, Yusuf Estes, Felix Siauw. Dan saat ini yang selalu saya pertajam ialah tausiyah setidaknya dari para ustad Adi Hidayat, Abdul Somad, dan masih banyak lagi sebenarnya, bersyukur dengan kemajuan teknologi.

Setelah belajar, rajin dengar tausiyah, kemudian apa?

Aqidah yakin sudah semakin kuat? Syariah yakin sudah semakin mantap? Akhlaq-nya kemudian bagaimana?

Padahal yang diwariskan dari keteladanan Nabi Muhammad s.a.w. itu terutama ialah akhlaq yang luar biasa baik.

Makanya ada yang bilang baru-baru ini di TV setelah ada aksi kerusuhan teroris yang membawa nama agama atas aksi terorisnya, tetapi disitu ditemukan misalnya botol-botol minuman keras. Nah, jadi itu agamanya apa? Melakukan pembunuhan keji, padahal seharusnya sholat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Belum dengar kah bagaimana perang di jaman Rasulullah, sangat-sangat akhlaqnya terjaga padahal dalam keadaan perang.

Nah, di sini ini ngakunya agama apa, tapi perbuatannya apa?

Exactly...

Perkuat ilmu aqidah, tapi tidak untuk bertengkar dengan orang yang berlainan keyakinan.
Perkuat ilmu syariah, tapi tidak untuk bertengkar dengan saudara kita yang memiliki pemahaman berbeda.
Perkuat ilmu akhlaq, insya Allah kita akan berdamai mulai dari diri sendiri.

Popular posts from this blog

Agile, Buru-buru, Labil?

Bismillah... Semoga Allah segera meluruskan bila ada yang salah dalam pemikiran saya ini yang hendak saya tuliskan ini. Image by Free-Photos from Pixabay Cerita kali ini tentang salah satu personality traits yang cukup populer di era teknologi saat ini, era digital, era milenial. Tidak lain ialah soal kelincahan, atau agility, yang bagi kalangan gamers

Hijrah Kontemporer, perlukah?

Image by Johannes Plenio from Pixabay Setelah sekian lama masuk ke dunia kerja, rasanya kehidupan tidak semulus kebanyakan dongeng semasa kecil, tidak selurus ajaran di bangku sekolah.    Ya, hidup itu keras, menghalalkan segala cara bisa jadi ada tergantung budaya kantornya, yang sudah mengakar. Maka bagaimanakah nasib muslim kantoran yang sudah terlanjur masuk ke industri yang tidak lurus? 

Mengejar Akhlaq, Umat yang sedikit

Image by John Hain from Pixabay Salam, Ini cerita flashback saya ketika di bangku SD. Kebetulan saya dimasukkan ke sekolah negeri, yang satu kelas isinya banyak sekali murid, sekalipun sudah dibagi kelas pagi dan siang. Pelajaran agama yang diajarkan di sekolah itu ialah agama Islam. Meskipun saya tidak terlalu pandai menghafal, tetapi saya cukup cerdik mempelajari situasi supaya mendapat nilai bagus di mata pelajaran agama tersebut, tentunya bukan dengan mencontek ataupun cara yang tidak mulia lainnya. Sebaliknya, ternyata trik yang saya lakukan itu merupakan pelajaran yang berharga seterusnya bagi kehidupan saya. Akhlaq.